Beberapa tahun terakhir, istilah quiet quitting sempat viral di media sosial — istilah untuk pekerja yang tetap menjalankan tugasnya, tapi tidak lagi mau “berlari lebih cepat” dari yang dibayar. Mereka tidak malas, hanya lelah.
Lelah dengan ekspektasi tanpa batas, rapat yang tak pernah selesai, dan budaya kerja yang menilai seseorang dari seberapa sibuk mereka terlihat.
Kini, memasuki 2025, tren ini tidak hilang. Justru semakin normal. Banyak profesional muda mulai menyadari pentingnya kesehatan mental, tanpa harus kehilangan arah profesional.
👉 Kalau kamu tertarik memahami sisi fisiologis stres dan energi, baca juga artikel Apakah Kopi Benar-Benar Bikin Produktif?
Apa Itu Quiet Quitting?
Quiet quitting bukan berarti berhenti kerja secara diam-diam, melainkan bentuk coping mechanism terhadap tekanan kerja berlebih. Kondisi ini terjadi ketika seseorang tetap hadir dan menyelesaikan tugasnya, tetapi menolak menambahkan “energi ekstra” di luar batas wajar.
Menurut Harvard Business Review (2023) dan American Psychological Association (APA), fenomena ini muncul karena work overload dan ketidakseimbangan work-life balance. Batas kerja yang sehat dapat meningkatkan kesejahteraan mental, sedangkan disengagement total tanpa komunikasi justru bisa memperburuk stres dan isolasi sosial (SAGE, 2023).
Mengapa Banyak Orang Melakukannya?
1. Burnout yang Jadi Budaya
Burnout kini dianggap masalah kesehatan masyarakat. CDC (2024) menyoroti bahwa stres kerja kronis menurunkan kualitas hidup pekerja. CDC menganjurkan deteksi dini, menjaga batas kerja, serta lingkungan kerja yang suportif agar karyawan tidak kehilangan semangat keterlibatan.
Kalau kamu pernah merasa kelelahan tanpa sebab jelas, baca artikel Tidur dan Sistem Imun: Mengapa Begadang Mudah Bikin Sakit? untuk memahami bagaimana tubuh bereaksi terhadap stres kronis.
2. Batas Kerja dan Kehidupan yang Menipis
Dengan sistem kerja digital, jam kerja menjadi kabur. Pesan kerja bisa datang kapan saja.
Quiet quitting sering muncul sebagai cara melindungi diri dari kelelahan mental akibat koneksi kerja tanpa jeda.
3. Lingkungan Kerja yang Kurang Suportif
Studi tinjauan sistematis dan penelitian lokal (UIKA Bogor, 2024) menunjukkan employee disengagement erat kaitannya dengan tekanan kerja tinggi, kurangnya penghargaan, dan lemahnya dukungan manajemen.
Komunikasi terbuka dan empati pimpinan terbukti membantu mencegah efek negatif quiet quitting.
Kalau kamu ingin tahu bagaimana nutrisi juga memengaruhi daya tahan terhadap stres kerja, baca juga artikel Zinc vs Vitamin C: Mana yang Lebih Efektif untuk Daya Tahan Tubuh?
4. Kesadaran Baru tentang Kesehatan Mental
Setelah pandemi, banyak orang menyadari bahwa istirahat bukan tanda kemunduran — melainkan bagian dari perawatan diri (self-care). Menjaga kesehatan mental bukan berarti bekerja lebih sedikit, tapi bekerja dengan lebih sadar dan manusiawi.
Perspektif Psikologis: Perlindungan Diri atau Alarm Dini?
Dari sisi psikologi, quiet quitting adalah bentuk self-protection — cara tubuh dan pikiran meminta jeda. Namun, bila dibiarkan tanpa refleksi, kondisi ini bisa berkembang menjadi disengagement emosional (menarik diri secara mental dari pekerjaan).
Menurut publikasi SAGE (2023), disengagement kronis dapat meningkatkan risiko stres, rasa kosong (emotional numbness), dan depresi.
Solusinya bukan memaksa diri “produktif” lagi secepatnya, tetapi memperbaiki komunikasi, apresiasi, dan keseimbangan antara tujuan pribadi dan profesional.
Kalau kamu ingin membangun rutinitas yang menenangkan dan memulihkan energi mental, baca artikel 7 Kebiasaan Kecil yang Bisa Meningkatkan Imunitas Harian
Cara Menemukan Keseimbangan Baru
1. Tetapkan Batas Sehat (Healthy Boundaries)
Pisahkan jam kerja dan waktu pribadi. Matikan notifikasi kerja setelah jam tugas selesai.
2. Redefinisikan Arti Produktif
Produktif bukan berarti sibuk, tapi berarti bermakna. Pilih aktivitas yang memberi nilai dan energi positif bagi diri sendiri.
3. Bangun Rutinitas Pemulihan (Recovery Routine)
Cukup tidur, konsumsi makanan bergizi, dan olahraga ringan.
4. Berani Bicara tentang Kesehatan Mental
Diskusikan beban kerja secara profesional. Banyak organisasi kini menyediakan wellness program — manfaatkan ruang itu sebagai tempat aman untuk rehat dan refleksi.
Kesimpulan
Quiet quitting bukan tanda kemalasan, melainkan pesan diam tentang pentingnya keseimbangan antara kerja dan hidup. Kesehatan mental pekerja bukan sekadar isu pribadi — tetapi isu budaya kerja yang perlu dibangun bersama.
Karena bekerja dengan sehat bukan tentang seberapa cepat kita bergerak, tapi seberapa lama kita bisa bertahan dengan hati yang utuh.
Referensi
- CDC. Public Health Burnout Prevention Module 3. 2024
- Harvard Business Review. Quiet Quitting and the Future of Work. 2023
- APA. Workplace Stress and Mental Health. 2023
- SAGE Journal. Workplace Disengagement and Coping Behavior. 2023
- UIKA Bogor. Employee Disengagement dan Dukungan Manajemen. 2024
- WHO. Occupational Burnout and Mental Health. 2024
Disclaimer
Artikel ini disusun untuk tujuan edukasi kesehatan masyarakat dan tidak menggantikan diagnosis medis langsung. Jika Anda memiliki kondisi khusus, konsultasikan kebutuhan suplemen dengan dokter atau apoteker.

Bagian dari program literasi kesehatan SateraHealth.id


